"Wahai ananda, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, maka mereka akan memperdayamu. Sesungguhnya setan itu bagi manusia adalah musuh yang nyata." (Q.S. Yusuf: 5)
Mari menimba kembali kisah inspiratif dari ayah dan anak yaitu Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf. Pada seri yang lalu sudah dibahas tentang apa yang dicurahkan oleh Yusuf kecil kepada ayahnya, soal mimpinya yang melihat sebelas bintang, matahari dan rembulan yang bersujud kepadanya.
Adapun ayat di atas, adalah tanggapan dari sang ayah, dimana ada beberapa ibrah tarbawiyah (pelajaran) yang bisa kita ambil darinya, terutama terkait urgensi menanamkan al-wa'yu al-amny (sensitivitas keamanan atau sikap kewaspadaan) pada anak.
Dalam ayat di atas Nabi Ya'qub berpesan kepada anaknya agar tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya, untuk menghindari tipu daya mereka. Dijelaskan dalam Tafsir Jalalain, dikhawatirkan mereka akan membuat tipu muslihat guna membinasakan Yusuf, karena terdorong oleh rasa dengki mereka kepadanya. Tentu mereka akan menakwilkan (tafsir) mimpi itu, bahwa bintang-bintang itu adalah mereka sendiri dan matahari itu adalah ibu mereka, sedangkan bulan adalah ayah mereka. Apalagi faktanya kesebelas saudaranya tersebut adalah saudara tiri.
Disebutkan pada ayat di atas, "Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia." Ini adalah penegasan bahwa sumber utama dari bahaya itu adalah setan. Ia adalah musuh yang nyata bagi manusia. Dimana ia akan selalu memanfaatkan sekecil mungkin celah perbedaan dan perselisihan antara manusia untuk saling bermusuhan satu sama lain. Maka celah-celah ini sebisa mungkin harus ditutup rapat.
Terlihat jelas dalam kisah tersebut bagaimana Nabi Ya'qub sebagai seorang ayah mempunyai kepekaan dan kewaspadaan akan bahaya yang mungkin mengancam anak kesayangannya. Memang inilah salah satu tugas orang tua, khususnya ayah, untuk selalu memastikan keamanan dan keselamatan anak-anaknya. Sebagai orang tua wajib hukumnya untuk sensitif dengan potensi-potensi bahaya yang ada di sekitar, serta segera melakukan tindakan-tindakan preventif dan antisipasif (pencegahan).
Bukan hanya untuk diri sendiri, Nabi Ya'qub juga menamkan kewaspadaan dan kehati-hatian itu kepada anaknya. Inilah yang harus kita lakukan kepada anak-anak kita, karena kita tidak bisa selalu berada di samping mereka. Seperti dalam kisah di atas, dimana salah satu wujud wa'yu amny adalah dengan tidak mudah membuka apalagi mengumbar informasi pribadi kepada orang lain.
Hal ini senada dengan apa yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW, "Berusahalah untuk menyukseskan segala urusan dengan (melakukannya) secara tersembunyi, karena setiap orang yang mendapat nikmat mesti ada orang yang mendengkinya." (H.R. Ahmad)
Dalam zaman seperti sekarang ini tentu sensitivitas keamanan dan sikap kewaspadaan itu lebih dibutuhkan lagi karena potensi-potensi bahaya yang mengancam anak kita semakin banyak dan beragam, seperti: human trafficking, prostitusi anak, penculikan, pelecehan seksual, hipnotis, sihir, pencopetan, bullying, hingga berbagai jenis kejahatan elektronik.
Dalam kondisi seperti ini, anak-anak kita bukan hanya harus ditanamkan pada mereka wa'yu amny, tetapi juga penting untuk dibekali ilmu bela diri, pengenalan modus operandi, dan diajari zikir-zikir penjagaan. Prinsip berharap yang terbaik dan bersiap untuk yang terburuk harus dipraktikkan. Ini semua adalah bagian dari upaya i'dād (persiapan) yang Allah perintahkan, "Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki." (Q.S. Al-Anfal: 60).
Penulis: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA
Sumber: Majalah Hadila Edisi 177
Foto: pexels-rodnae productions