Melindungi Anak Dari Pelecehan Seksual

Orang dekat disebut sebagai pelaku kekerasan seksual yang paling banyak terjadi. Tidak terkecuali di lingkungan keluarga maupun pendidikan. Dalam hal ini, anak menjadi pihak yang paling rentan menjadi korban.

Kasus pelecehan seksual pelakunya sebagian besar dilakukan oleh orang-orang dekat. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Memang benar, statistik RAINN (Rape, Abuse, Incest National Network), lembaga nirlaba anti-kekerasan seksual terbesar di dunia, menyatakan bahwa 59% kekerasan seksual dilakukan orang dekat.

Mengapa bisa terjadi? Banyak faktornya. Pertama, dari sisi pelaku penyerangan. Otak para penyetang mengalami disfungsi pada bagian-bagian tertentu yang berperan dalam perilaku menyimpangnya, ini menurut penelitian S.E. Hendriks, dkk (1998). Umumnya para penyerang juga pernah dilecehkan, sehingga kemudian menyerang saat ia menemukan korban yang lebih lemah dari dirinya.

Kedua, kepribadian para penyerang anak-anak juga khas. Pedofil umumnya mengalami perasaan inferioritas (rendah diri), isolasi atau kesepian, harga diri rendah, disforia internal (depresi), dan ketidakdewasaan emosional.

Ketiga, dari sisi lingkungan. Umumnya orang tua percaya pada orang-orang terdekat dalam keluarga dengan berpikir, "Kan saudara, masa iya tega?" Padahal, disfungsi otak yang terkait dengan ketidakmampuan mengontrol diri, bisa saja terjadi pada orang-orang dekat.

Seperti apa urgensi pendidikan seksual terkait pencegahan pelecehan seksual?

Menurut A. Nasih Ulwan (sebagaimana dikutip dalam Suraji, 2008), pendidikan seks adalah upaya mengajarkan kesadaran dan informasi tentang isu-isu seks yang diberikan kepada anak-anak, sehingga dia memahami masalah yang berkaitan dengan seks, naluri, dan pernikahan.

Diasumsikan bahwa jika anak-anak tumbuh dewasa, mereka mampu memahami unsur-unsur atau hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang.

Secara konkret, di antaranya adalah mengajarkan anak tentang tubuhnya, mengenali fungsinya, dan mengajarkan siapa saja yang boleh menyentuhnya, batasan-batasannya, konteks-konteksnya. Misalnya, kenalkan ini adalah vagina atau penis, secara ilmiah bersama dengan fungsinya (harus disampaikan dengan wajah serius namun santai, jangan cengengesan). Sehingga anak-anak memahami secara utuh bahwa bagian-bagian tubuh tersebut setara pentingnya dengan mata, hidung, kaki, dan yang lainnya.

Jika sudah, ajarkan juga bagaimana merawatnya dan menghormati bagian-bagian tubuh tersebut. Di antaranya adalah tidak diperbolehkan orang lain menyentuhnya. Tidak hanya orang asing yang dilarang, tetapi juga orang yang dikenal, bahkan orang tua. Alasan orang tua menyentuh harus jelas, misalnya kondisi sakit, maka dibantu untuk mandi dan seterusnya.

Apa saja yang bisa dilakukan orang tua agar anak terhindar dari pelecehan seksual?

Mengajarkan pendidikan seks pada anak, ini seharusnya dilakukan orang tua. Syarifuddin (2007) mengklasifikasikan pendidikan seks menurut fase perkembangan anak.

Pertama, tamyiz (pra-pubertas). Fase ini antara usia 7-10 tahun. Pada tahap ini anak diajarkan untuk mengenali identitas diri yang erat kaitannya dengan organ biologis, serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Kedua, murabaqah (pubertas). Fase ini terjadi pada usia 10-14 tahun. Pada tahap ini anak-anak perlu diberi penjelasan tentang fungsi biologis secara ilmiah, batas aurat, kesusilaan, kesusilaan dalam masyarakat dan martabat. Anak juga harus dijauhkan dari berbagai rangsangan seksual, seperti bioskop, buku porno, konten tidak pantas, dan lain-lain.

Ketiga, bulugh (usia remaja). Fase ini terjadi pada usia 14-16 tahun. Ini dalah fase paling kritis dan penting, karena naluri keingintahuan anak semakin meningkat seiring bertambahnya usia dan semakin matang berpikir. Pada tahap ini, organ reproduksi anak sudah berfungsi, sehingga orang tua dapat memberikan etika hubungan seksual kepada mereka.

Keempat, setelah masa remaja. Pada saat ini, anak-anak diberikan pelajaran etika isti’faaf (menjaga diri), jika belum bisa menikah.

Ketika memilih lingkungan pendidikan, lakukan wawancara pada guru-gurunya untuk mengetahui seperti apa pemahaman mereka tentang pendidikan seksual. Apakah terdapat peraturan yang jelas tentang hubungan antar-siswa lain jenis atau sesama jenis (karena saat ini kekerasan seksual tidak hanya pada lain jenis, tetapi juga sesama jenis), apakah semua guru, tenaga pendidikan mendapat training tentang bagaimana memperlakukan anak-anak dengan penuh hormat, sebagaimana diajarkan dalam pendidikan seksual.

Oleh : Dr. Setiawati Intan Savitri, S.P., M.Si - Dosen & Peneliti
Sumber : Majalah Hadila Edisi 183
Foto : pixabay