Hibah merupakan salah satu cara transfer harta dan kekayaan. Hibah menjadi sarana untuk merealisasikan tujuan harta, yaitu tadawul (perputaran). Allah Swt menganjurkan praktik hibah harta dalam ayat, "Kamu tak akan meraih kebajikan sempurna (al-birr), sebelum menginfakkan sebagian harta yang kamu senangi." [Q.S. Ali Irman: 92]
Imam A1-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad meriwayatkan bahwa Rasulullah mendorong umatnya untuk saling memberi (hadiah). Rasulullah berkata, "Bila aku diberi hadiah dzira' atau kira', sungguh aku terima." [H.R. Al Bukhari]
Hadis riwayat Aisyah Ra menyebutkan bahwa Rasulullah Saw menerima hadiah dan membalasnya. [H.R. Imam Al-Bukhari]
Anas Ra mendorong anak-anaknya, "Nak, saling memberilah di antara kalian, karena yang demikian paling kuat menumbuhkan kasih sayang."
Hukum Hibah
Rasulullah juga menganjurkan pihak-pihak yang diberi (hibah, hadiah) untuk menerimanya, selama tidak memintanya. Terdapat kesepakatan ulama bahwa hukum asal menerima hibah (hadiah) adalah boleh (masyru'), selama tidak mengandung unsur pelanggaran dan kemaksiatan. Hibah memiliki makna yang dekat dengan sedekah, pemberian ('atbiyah), dan hadiah. Seluruh kata itu mengarah pada transfer kepemilikan dari satu pihak ke pihak lain yang dilakukan semasa hidup seseorang. Dalam hibah tidak ada imbalan material yang diterima oleh pemberi. Kata 'atbiyah dan hibah memiliki arti lebih umum, mencakup keseluruhan jenis pemberian. Sedekah dan hadiah berbeda. Rasulullah tidak menerima sedekah, tetapi menerima hadiah. Sedekah adalah pemberian kepada pihak lain dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Adapun hadiah, adalah sesuatu yang diberikan guna membangun kedekatan antara pemberi dan penerima. Semua jenis pemberian di atas, bila dilandasi oleh niat ikhlas karena Allah akan berpahala.
Praktik Hibah
Praktik hibah dilakukan semasa hidup pemberi dan penerima. Praktiknya, pemilik memberikan sebagian hartanya kepada pihak lain dan dilakukan serah terima. Menurut mayoritas ulama, serah terima dari pemberi kepada penerima menjadi syarat sahnya hibah. Apabila hibah diberikan kepada seseorang, tetapi belum terjadi serah terima, kemudian pemberi hibah wafat, maka hibah menjadi batal. Syarat serah terima semasa hidup ini menjadikan hibah berbeda dengan wasiat dan waris. Wasiat harta bermakna menjanjikan suatu pemberian kepada pihak lain, tetapi penyerahan harta dilakukan setelah pemberi wafat. Adapun transfer harta melalui waris tidak ada kaitan dengan janji atau pesan pemilik, tetapi sebagai mekanisme wajib untuk mengalihkan harta seseorang kepada khusus ahli waris setelah pemilik harta wafat. Dari aspek penerima pemberian, hibah memiliki jangkauan lebih luas. Hibah boleh diberikan kepada keluarga yang menjadi calon ahli waris, karib kerabat yang tidak termasuk penerima waris, maupun orang lain di luar keluarga. Orang tua boleh menghibahkan harta kepada anak-anaknya dengan syarat kesetaraan, yaitu tidak boleh mengistimewakan salah satu anak dengan pemberian tertentu, sedang anak yang lain tidak diberi hibah. Rasulullah menganggap praktik pilih kasih kepada anak dengan pemberian tertentu sebagai tindakan tidak adil yang berdampak pada masa depan kerukunan keluarga. Rasulullah enggan menjadi saksi atas hibah yang diberikan Basyir bin Sa'ad al-Anshari kepada putranya,
Nu'man bin Basyir. Keengganan Rasul menjadi saksi karena Basyir bin Sa'ad hanya memberi hibah kepada Nu'man, sedangkan anak-anak yang lain tidak diberinya [H.R. A1-Bukhari]. Akhirya pemberian kepada Nu'man ditarik kembali.
Hibah Tak Bisa Ditarik Kembali
Pada dasarnya, hibah yang telah diberikan tidak bisa diminta kembali oleh pemberi. Rasulullah bersabda, "Pemberi hibah yang meminta kembali hartanya ibarat orang muntah yang memakan ulang muntahnya." [H.R. A1-Bukhari]
Demikian pula hibah yang telah dilakukan serah terima, tidak bisa ditarik ulang dalam kondisi-kondisi berikut:
1. Pemberi hibah meniatkan pemberiannya itu sebagai sedekah. Umar bin Khatthab Ra berkata, "Barang siapa memberikan hibah sebagai sedekah, maka ia tidak bisa menariknya kembali."
2. Pemberi hibah menerima imbalan dari penerima hibah. Kadang dijumpai seseorang menghibahkan harta kepada anak atau orang lain, tetapi ia meminta sejumlah uang tertentu.
3. Bila salah satu pihak, pemberi atau penerima hibah wafat setelah objek hibah diserahterimakan.
4. Penerima hibah telah menambahkan sesuatu pada harta hibah dengan suatu tambahan yang tidak bisa dipisahkan.
5. Harta yang dihibahkan telah berpindah tangan kepada pihak lain.
6. Harta yang dihibahkan telah hilang atau tidak bisa dimanfaatkan sebagaimana fungsi aslinya.
Oleh : Dr. Ahmad Djalaluddin, Lc. MA. Pakar Ekonorni Syanah Pascasanana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Sumber : Majalah Keluarga Hadila Edisi 184
Foto : pexels-thais-araujo