Semasa hidup seseorang bebas membagi hartanya. Al-Qur'an mengarahkan pembagian itu kepada keluarga, kerabat, atau pihak lain yang membutuhkan. Semasa hidup, pemilik juga bisa berpesan untuk membagi hartanya kepada pihak-pihak yang tidak menerima warisan darinya dalam bentuk wasiat. Wasiat adalah janji untuk berderma secara sukarela (tabarru') yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga yang berwasiat wafat, baik berupa benda atau manfaat (jasa).
Syariat wasiat ditetapkan sebelum ketentuan waris diturunkan Allah. Ia berfirman, "Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik,(sebagai) kemajiban bagi orang-orang yang bertakwa." [Q.S. Al-Baqarah: 180] Dalam Tafsir al-Sa'di disebutkan bahwa ayat tersebut turun sebelum ayat-ayat waris dan bersifat global.
Keberadaan ayat-ayat waris menjadikan orang tua dan karib kerabat yang mendapat warisan dikecualikan dari sasaran wasiat. Akan tetapi, bila mereka dikarenakan suatu hal, seperti beda agama, tidak mendapat waris, mereka bisa memperoleh bagian melalui wasiat. Adapun hadis yang dijadikan dasar wasiat adalah kisah Sa'ad bin Abi Waqash yang meminta pendapat Rasulullah. Sa'ad berkata, "Ya Rasulallah, saya sedang sakit keras. Saya punya harta dan ahli waris saya hanya seorang anak perempuan. Apakah sebaiknya saya menyedekahkan dua pertiga harta saya?" Rasulullah menjawab, "Jangan." Sa'ad melanjutkan, "Bagaimana kalau separuhnya, ya Rasulallah?" Rasulullah kembali menjawab, "Jangan!" Sa'ad berkata, "Bagaimana bila sepertiga?" Rasulullah menjawab, "Sepertiga. Ya, sepertiga itu banyak. Jika kamu meninggalkan anak-anak dalam keadaan cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain." [H.R. Bukhari-Muslim]
Hukum Wasiat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum wasiat adalah sunah (mustahabbah) apabila pewasiat memiliki harta lebih yang akan ditinggalkan untuk ahli warisnya. Wasiat tidak dibolehkan bila pihak yang berwasiat berniat merugikan para ahli waris. Jumhur ulama tidak berpendapat wajibnya wasiat, mengingat tidak ada penjelasan dari Nabi, bahkan Beliau sendiri tidak mewasiatkan harta peninggalan. Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa ijma' ulama menegaskan kalau wasiat tidak wajib. Apabila seseorang tidak berwasiat harta, maka peninggalannya dibagi sebagai warisan kepada yang berhak. Bagi keluarga yang mengetahui adanya wasiat, maka wajib menunaikannya selama wasiat tidak keluar dari kaidah dan ketentuan syara'. Hal ini sesuai firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 181. Bagi pihak yang mengubah wasiat dengan mengurangi, membatalkan, atau menghalangi, padahal ia mengetahuinya, maka dosa menimpa pihak yang mengubahnya, bukan pihak yang berwasiat.
Ketentuan Praktik Wasiat
Praktik wasiat harta atau manfaat sesuatu terikat dengan ketentuan-ketentuan berikut:
- Wasiat merupakan pesan seseorang yang disampaikan semasa hidup. Adapun pelaksanaannya sepeninggal pihak yang berwasiat dengan terlebih dulu harta digunakan untuk perawatan jenazahnya, melunasi utang dan tanggungannya, kemudian ditunaikan wasiatnya.
- Pihak yang berwasiat, selagi masih hidup, boleh merevisi atau membatalkan wasiatnya.
- Wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris karena mereka telah mendapat harta berdasar bagian hak warisnya.
- Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Apabila jumlah wasiat melebihi sepertiga harta, maka ahli waris wajib menunaikan dalam batas sepertiga. Adapun selebihnya tergantung persetujuan ahli waris.
- Diupayakan wasiat harta atau manfaat sesuatu tercatat dan disaksikan 2 orang saksi atau lebih, sebagaimana arahan Surah Al-Maidah ayat 106. Pencatatan dan saksi atas wasiat ini penting guna menghindari kekeliruan dalam pelaksanaannya, dan menghindari konflik di antara keluarga.
- Wasiat diprioritaskan bagi keluarga dan kerabat yang tidak mendapat warisan, terutama bagi keluarga yang membutuhkan. Prioritas semacam ini merupakan ajaran Islam agar mendahulukan pihak terdekat dengan pemilik harta.
Batalnya Wasiat Harta
Pelaksanaan wasiat dimungkinkan batal apabila terjadi hal-hal berikut :
- Penerima wasiat wafat (mendahului pemberi wasiat)
- Penerima wasiat menjadi pembunuh pemberi wasiat
- Hilangnya objek wasiat
- Pemberi wasiat mengingkari adanya wasiat
- Pewasiat atau penerima wasiat murtad
Oleh : Dr. Ahmad Djalaluddin, Lc. MA. (Pakar Ekonomi Syariah Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim)
Sumber : Majalah Keluarga Hadila Edisi 185
Foto : pexels-cottonbro-studio