Suatu ketika Muawiyah bin Abi Sufyan Ra sedang marah terhadap anaknya, Yazid bin Muawiyah. Karena itu Khalifah Muawiyah menjauhi anaknya tersebut, dan kesan bahwa Yazid sedang dikucilkan ini diketahui banyak orang. Seorang tabi'in Ahnaf bin Qais mendengar kasak-kusuk tentang hal ini, maka ia pun menghadap kepada Muawiyah Ra untuk berbagi nasihat. Beliau berpesan, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya mereka adalah anak-anak kita, buah hati kita, tulang punggung kita. Dan kita adalah naungan langit bagi mereka, hamparan bumi bagi mereka. Bila mereka marah maka maafkanlah, bila mereka meminta maka berikanlah. Janganlah engkau memberatkan mereka sehingga mereka benci terhadap hidupmu dan justru menginginkan kematianmu." Muawiyah pun berkata, "Engkau sangat benar wahai Abu Hajar (Ahnaf bin Qais)." Setelah itu, Muawiyah pun memanggil ajudannya untuk menyampaikan salam kepada Yazid sekaligus memberi beberapa hadiah. Yazid pun bertanya kepada ajudan itu, "Siapa yang sedang berada di samping ayahku, Muawiyah?" Pemuda itu menjawab bahwa yang sedang menasihati ayahnya adalah tabi'in bernama Ahnaf bin Qais. Yazid pun berjanji untuk membagi hadiah dari ayahnya dengan tabi'in tersebut.
Kisah di atas disebutkan Ibnu Katsir dalam Bidayab wa Nibayab. Terlepas dari benang kusut sebagian sejarah Islam, khususnya yang Jangan Menjadi Orang Tua yang Dimusuhi Anaknya yang melibatkan Muawiyah Ra maupun Yazid, kita bisa mengambil beberapa pelajaran. Bahwa seorang kepala keluarga memang mempunyai wewenang untuk mendidik keluarganya. Karakter Muawiyah Ra pada kisah di atas sangat tegas, entah untuk kesalahan apa yang telah diperbuat oleh Yazid anaknya. Yang lebih menarik adalah tentang bagaimana sebuah sikap dalam mendidik keluarga itu tidak didasari kebencian. Sehingga ketika, anggap saja, seorang ayah menghukum anaknya, dia mempunyai batasan-batasan tertentu. Dan memang seharusnya seperti itu, bila nilai kesalahan seseorang itu 4, misalnya, maka hukuman yang layak ia dapatkan juga hukuman dengan nilai 4. Apa yang dikhawatirkan oleh tabi'in Ahnaf bin Qais bukan sesuatu yang berlebihan. Fenomena anak yang memusuhi orang tuanya adalah sebuah realitas, tetapi kita berharap agar ia hanya anomali belaka, tidak banyak, sekadar ada. Beberapa berita yang kita baca menunjukan hal itu, anak yang tega melukai orang tuanya, membunuh orang tuanya, atau yang sempat viral adalah anak yang membakar rumah orang tuanya sendiri. Dendam dan kekurangpuasan seorang anak terhadap orang tua bisa disebabkan beberapa hal. Bisa jadi hal itu berkaitan dengan ketidakseimbangan antara reward and punishment-nya, anak perlu dipuji, dibimbing, diberi hadiah maupun dimotivasi, tidak selalu harus dimarahi atau dikerasi. Stagnasi peran orang tua dengan anak, memosisikan anak selalu sebagai anak kecil. Dan tentu bimbingan agama adalah rukun yang wajib hadir dalam membina rumah tangga.
Melanjutkan cerita di atas, Muawiyah Ra setelah menghukum anaknya tetap berbesar hati untuk memberi maaf, menyampaikan salam, dan bahkan memberi hadiah. Hal yang seperti itu adalah contoh dari karakter ayah yang berlapang dada. Tidak malu untuk 'meralat' sikap, tepatnya memberi sikap yang proporsional terhadap anaknya. Tidak salah bagi orang tua untuk mengucap, "Yo, aku wong tuo okeh luput lan salahe, yo, Le." Walaupun tentu seorang anak itu lebih wajib meminta maaf kepada orang tuanya. Hikmah terakhir yang bisa kita ambil adalah tentang sharing masalah kekeluargaan. Bahwa institusi keluarga adalah sakral dan cenderung privat. Namun, bukan berarti ketika kita menghadapi masalah-masalah kekeluargaan lantas kita simpan sendiri. Perintah musyawarah, bertanya kepada ahli, itu juga berlaku dalam membina rumah tangga. Keberadaan Ahnaf bin Qais bagi Muawiyah menempati posisi itu. Kita tidak sedang membonsai kisah di atas yang hanya berlaku pada statusnya sebagai pejabat (khalifah) dan abdi dalem. Lebih dari itu, kita menemukan kisah lain yang juga mengajari agar kita selalu memperkaya khazanah tentang rumah tangga. Allahumma, berikanlah kami keluarga yang baik dan perbaikilah keluarga kami.