Dorongan untuk kita menanam pohon itu begitu kuat sampai diperintahkan untuk kita lakukan hingga akhir jaman. Selain membersihkan udara dengan menyerap CO2, memberikan manusia apa yang dibutuhkan untuk pernafasannya dengan O2, memberi makan manusia dan binatang dengan buah, daun dan bunganya, mengelola air di tanah agar terus tersedia air bersih bagi manusia dan penghuni bumi lainnya, sampai memberi sumber-sumber energi yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia modern. Lebih dari itu menanam pohon dan meng-waqaf-kannya, juga bisa menjadi jalan bagi kita untuk memperoleh pengganti pohon yang di surga.
Diceritakan dalam salah satu riwayat tentang sebab-sebab turunnya (Asbabun Nuzul) Surat Al-Lail, diantaranya dari Ibnu Hatim, Al-Hakim, dan Al-Bazzar. Dalam riwayat Ibnu Hatim dikatakan bahwa surat Al-Lail turun berkenaan pemilik pohon kurma yang bakhil.
Diceritakan bahwa pemilik pohon kurma tersebut memiliki pohon yang mayangnya menjulur hingga ke rumah tetangganya yang fakir dan memiliki banyak anak. Tiap kali berbuah, pemilik pohon memetik hasilnya dari rumah tetangganya, namun bila kurma tersebut jatuh dan dipungut oleh anak-anak tetangganya yang fakir, ia segera merampasnya. Bahkan yang sudah masuk ke mulut anak-anak itu juga dipaksa dikeluarkannya.
Kemudian, orang fakir itu mengadukan hal itu kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berjanji akan menyelesaikan masalahnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian bertemu dengan pemilik kurma dan meminta pohon kurma tersebut, sebagai gantinya dia akan diberi pohon kurma di surga.
Pemilik kurma meremehkan dan menolak tawaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini, dia mengatakan bahwa dia memiliki pohon kurma yang banyak dan yang diminta Nabi tersebut adalah yang terbaik yang dimilikinya.
Pembicaraan itu didengar oleh sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang lain yang dermawan, dia datang kepada Nabi dan menanyakan apakah tawaran pohon yang di surga itu juga berlaku baginya – Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian meng-iya-kannya.
Sahabat yang dermawan itu kemudian menemui pemilik pohon kurma yang bakhil dan berniat membeli atau mengganti pohon kurma yang diminta Nabi tersebut di atas. Tetapi permintaan si pemilik pohon kurma yang bakhil ini tidak masuk akal, dia meminta 40 pohon kurma untuk menggantikan satu pohon yang diminta Nabi (untuk diberikan kepada si fakir tetangga si bakhil).
Meskipun permintaan nilai tukar yang tidak masuk akal tersebut, sahabat yang dermawan tetap menukarnya dan kemudian menyerahkan satu pohon tersebut –yang telah dirukar dengan 40 pohon kurma miliknya – kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kemudian beliau menemui si fakir dan menyerahkan satu pohon kurma tersebut untuk dinikmati hasilnya bila berbuah.
Surat Al-Lail berisi tentang perbedaan kedudukan orang bakhil dengan orang dermawan, di antaranya adalah ayat berikut :
????? ?????????? ????????
????????? ????????????
??????????????? ???????????
???????? ??? ?????? ????????????
????????? ????????????
??????????????? ???????????
"Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar."(QS al-Lail [92] : 4-10)
Bersedekah dengan pohon – yang diambil hasil/buahnya – juga diriwayatkan dalam sejumlah hadits yang sahih. Para sahabat Anshar biasa memberi Nabi beberapa pohon kurma – untuk dimanfaatkan hasilnya ketika berbuah. Ketika Negeri Islam Madinah mulai memiliki sumber-sumber pandanaan yang cukup – paska penaklukan Khaibar (7 H) – Nabi kemudian mengembalikan pohon-pohon sahabat Anshar tersebut.
Kaum Anshar juga membagi pohon-pohon kurma yang dimilikinya dengan kaum Muhajirin yang dipersaudarakan dengan mereka, namun para kaum Muhajirin ini latar belakangnya pedagang – tidak bisa mengelola kebun , maka yang mereka bagi akhirnya adalah hasil buahnya ketika kurma-kurma tersebut berbuah.
Umar bin Khattab juga pernah hendak me-waqaf-kan kebun kurma terbaiknya, tetapi oleh Nabi dianjurkan untuk me-waqaf-kan hasilnya saja. Maka hasil kebun kurma ini kemudian di-waqaf-kannya untuk berjuang di jalan Allah, memerdekakan budak, untuk orang miskin, menjamu tamu, untuk orang yang dalam perjalanan, dan untuk kaum kerabat.
Orang yang diserahi mengelola kebun tersebut boleh makan dari padanya secara wajar dan adil, demikian pula dengan teman-teman para pengelola ini boleh ikut makan darinya asal tidak ada intensi untuk mengambil secara berlebihan dan memperkaya diri sendiri dari kebun tersebut.
Lihat betapa indahnya waqaf pohon yang diambil hasilnya ini, selama usia pohon produktif waqaf yang sekali bisa diambil manfaatnya berulang kali. Betapa banyak orang bisa mendapatkan manfaatnya dari waqaf pohon ini. Bukan hanya dari buahnya ketika pohon-pohon tersebut berbuah, tetapi juga dari oksigen yang dikeluarkannya dan air tanah yang dikelolanya.
Bukankah di sekitar kita banyak fakir miskin yang perlu dicarikan sumber pendapatannya yang berkelanjutan, sekolah-sekolah para penghafal Al-Qur'an yang perlu dukungan dana yang self-sustainable, rumah sakit-rumah sakit yang perlu digratiskan layanannya tanpa harus bersentuhan dengan yang riba, ilmu-ilmu dan teknologi yang perlu terus dikembangkan dengan sumber pendanaan yang baik, dlsb.
Sumber: hidayatullah.com