Harta paling berharga di dunia ini adalah anak. Mungkin ada yang sudah punya rumah, mobil banyak, investasi emas berkilo-kilo, tabungan di mana-mana, namun jika anak belum juga hadir, terasa masih kurang. Bila usia sudah separuh abad dan belum juga dititipi amanah berupa anak, kemudian mendapat tawaran bisa punya anak dengan menukar separuh hartanya, tentu dia akan bersedia.
Paradoks itu
Meski mayoritas orangtua tahu bahwa anak adalah harta yang paling berharga, bahkan nilainya tak lagi bisa dihargai dengan rupiah atau dolar, namu kita sering menemukan bahwa harta termahal tersebut diurus dan dikelola apa adanya, bahkan sering ditelantarkan.
Banyak orang secara serius, penuh perhitungan dan melibatkan banyak ahli diberbagai bidang untuk mengamankan dan mengembangkan harta miliknya dalam bentuk uang, investasi atau perusahaan. Namun, banyak pula orangtua yang menelantarkan kekayaan termahalnya (anak) dengan memberi waktu sisa, SDM (sumber daya manusia) pengelola dan proses pengelolaan yang ala kadarnya.
Jika dalam konteks keberagamaan ada pameo, "tontonan jadi tuntutan, dan tuntutan jadi tontonan," dalam konteks merawat harta termahal (anak) bisa muncul pameo, "yang termahal ditelantarkan, yang tak mahal dipuja." Artinya, betapa sudah terbalik-balik masyarakat kita dalam menerapkan kesadaran pemikirannya dengan implementasi kesehariaanya.
Ada sebagian lain masyarakat, membersamai pertumbuhan anaknya dengan acuh tak acuh. Setelah melahirkan dan menyiapkan makanan, anak dibiarkan tumbuh sendiri. Tak ada bimbingan, tak ada upaya eksplorasi potensi. Mereka sering berdalih, "Besok lakau sudah besar juga tahu sendiri, kapan harus begini dan begitu."
Orangtua yang demikian telah abai, bahwa tanggungjawab orangtua masih terus melekat, sampai anak-anak mandiri dan berkeluarga. Bahkan Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq, dalam kadar tertentu masih terus melibatkan diri dalam kehidupan anaknya, meskipun sudah berumah tangga dan punya rumah sendiri.
Jika hari ini ada banyak sarjana kebingungan mau kerja apa? Fenomena tersebut sesungguhnya juga menggambarkan kegagalan orangtua dalam membersamai anak dalam menemukan bakat terbaiknya sejak usia muda. Betapa banyak kita temukan mahasiswa tingkat akhir masih bingung apa bakat atau passion dirinya? Mereka masih gelap dalam memahami dirinya, apalagi mengembangkan potensinya.
Tantangan masa depan, saat anak-anak kita kelak dewasa tentu tidak semakin ringan, oleh karenanya Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, "Didiklah anak-anakmu sesuai zamannya."