Oleh: dr. Marijati
Kita mungkin pernah mendengar orang yang sedang bercerita tentang kisah pendakiannya yang heroik. "MasyaAllah, medan yang kami lewati luar biasa sulit. Terjal, mendaki dan berbelok-belok. Untuk naik kadang kita butuh saling menopang. Belum lagi ditambah dengan hawa malam yang dingin dan persediaan makan yang menipis. Tapi alhamdulillah tim kita solid hingga sebelum subuh kami sudah mencapai puncak dan menunaikan sholat subuh berjamaah di puncak."
Kalau memang yang dicari adalah suasana di puncak saja mungkin akan lebih efektif kalau mereka naik helikopter. Cepat, tidak lelah, resiko kecelakaan lebih kecil. Tapi mengapa sampai hari ini para pendaki gunung tetap dan harus mendaki? Boleh jadi karena kenikmatan yang mereka rasakan di puncak "lebih berasa atau lebih bernilai" dengan sulitnya medan yang harus dilalui beserta perjuangan untuk menaklukkannya.
Dalam kehidupan berumah tangga juga demikian. Betapa sulit membangun dan menjaga keutuhan atau keharmonisan dengan pasangan. Ketika bertambah amanah berupa anak betapa kesulitan makin bertambah. Saat hamil, melahirkan, merawat tumbuh kembang anak hingga harus mendampingi pula saat anakĀ kita bersekolah. Namun begitu pada saat anak-anak tumbuh dewasa, berprestasi dan satu per satu mendiri dan berpisah dengan kita, maka yang terasa adalah kepuasan. Rasa syukur tak terkira.
Menikmati hasil adalah puncak dari proses berjuang. Semakin banyak pengorbanan biasanya kita makin berlimpah dengan rasa syukur saat menikmati hasilnya. Tapi yang perlu kita sadari adalah:
- Di dunia adakalanya perjuangan kita tidak selalu memberi hasil seperti yang kita harapkan.
- Di dunia, bila sudah mendaki dan mencapai puncak maka artinya bersiap pula untuk turun kembali.
- Sedang di akhirat semua akan bernilai dan dibalas tergantung pada proses yang kita lakukan saat berjuang. Setiap perbuatan akan mendapat belasan sekecil dan sebesar apapun. Baik itu perbuatan yang benar maupun salah. Dan di akhirat bila balasannya adalah kebaikan maka tidak akan ada akhirnya. Hasil usaha atau perjuangan adalah otoritas Allah. Sudah aada takdirnya.
Yang membuat amal kita bernilai saat berjuang adalah bila niat, proses dan tujuannya menggapai ridho Allah semata. Maka sungguh, kalau kita cerdas, di dalam hadits Rasulullah Muhammad SAW sudah mengingatkan, "Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya." Luruskan niat bahwa kita memang harus terus berjuang untuk banyak mengumpulkan bekal bagi akhirat kita.
Kita akan terus berjuang dan bersabar untuk menikmati hasilnya kelak bila sudah bertemu dengan Allah. Mungkin saja saat di dunia kita sudah merasakan sebagian hasilnya atas izin Allah, tapi mungkin juga belum. Tapi bila kita percaya bahwa di akhirat pasti akan ada balasan-Nya maka kita tak peduli apakah kita sudah termasuk yang bisa menikmati hasil perjuangan di dunia atau tidak. Yang penting kita selalu termasuk dalam golongan orang yang beramal soleh, bahkan saling berlomba dalam amal kita.
Sumber: Majalah Hadila, Edisi 29