Perkembangan dunia kesehatan mental tidak lepas dari pengaruh sejarah dan kemajuan kebudayaan. Dalam dunia Islam, perhatian terhadap aspek kesehatan mental telah dibangun jauh sebelum Barat memberi perhatian pada sektor ini. Sejarah kesehatan jiwa sudah dimulai sejak jauh sebelum Barat mengenal metode penyembuhan penyakit jiwa berikut tempat perawatannya.
Berbicara tentang kesehatan mental erat kaitannya dengan gangguan jiwa. Pandangan terhadap gangguan jiwa telah mengalami perjalanan panjang, mengikuti perubahan konteks budaya dan agama. Berbagai peradaban besar dunia telah mengenal beragam gangguan jiwa. Pada masa Yunani Kuno, gangguan jiwa dianggap kutukan dari para dewa yang hanya bisa disembuhkan dengan doa. Di sisi lain, masyarakat Yudeo-Kristen berpandangan gangguan jiwa bisa dilihat sebagai hukuman ilahi, sekaligus karunia.
Kesehatan Mental dan Peradaban Islam Sejarah kesehatan mental sebenarnya telah dimulai pada masa peradaban Islam. Pada masa itu, ilmuwan muslim telah mengembangkan praktik penyembuhan bagi manusia yang mengalami gangguan jiwa. Konsep kesehatan mental atau al-tibb al-ruhani pertama kali diperkenalkan dunia kedokteran Islam oleh dokter dari Persia bernama Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl Al-Balkhi (850-934). Sang dokter berhasil menghubungkan penyakit antara tubuh dan jiwa.
Al-Balkhi mengelompokkan penyakit mental ke dalam empat bagian, yaitu ketakutan dan fobia, agresi dan amarah, kesedihan dan depresi, serta obsesi. Menurut Balkhi, penyakit fisik diduga mempengaruhi kondisi kognitif dan kejiwaan pasien. Sebaliknya, keadaan psikis seseorang yang terganggu bisa menyebabkannya rentan terserang penyakit (fisik). Di abad pertengahan, para dokter muslim telah melakukan kajian klinis napak tilas terhadap pasien penderita sakit jiwa. Tak heran jika para dokter tersebut berhasil mencapai kemajuan signifikan dalam bidang ini. Mereka berhasil menemukan psikiatri dan pengobatannya berupa psikoterapi dan pembinaan moral bagi penderita sakit jiwa. Selain itu, para dokter berkolaborasi dengan psikolog telah menemukan bentuk pengobatan modern bagi penderita sakit jiwa, seperti pengobatan dengan obat maupun musik terapi, dan lainnya.
Di masa Islam pertengahan, orang dengan penyakit mental disebut madjnun. Namun, mereka tidak dikucilkan. Justru, dalam keyakinan Islam, mereka harus diperlakukan dengan baik. Banyak rumah sakit didirikan pada masa awal Islam, terinspirasi dari ‘rumah sakit’ pertama di Masjid Nabawi Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw. Hampir semua kota besar di dunia Islam pada era keemasan telah memiliki rumah sakit jiwa atau insane asylums. Pada 705 M, sebuah rumah sakit jiwa telah berdiri di Kota Baghdad, ibu kota Abbasiyah saat itu.
Rumah sakit jiwa ini, mengembangkan sistem perawatan kesehatan yang inklusif bagi pasien gangguan mental. Selain itu, insane asylum juga terdapat di Kota Fes (Maroko), Kairo (Mesir) pada tahun 800 M. Selanjutnya, pada 1270 M, rumah sakit sejenis juga telah berdiri di Kota Damaskus dan Aleppo, Suriah (Ibrahim, 2002). Pusat terapi kesehatan mental di era kekhalifahan memiliki fasilitas perawatan lengkap. Rumah sakit ini dilengkapi taman, air mancur, ruang kuliah, perpustakaan, dapur, apotek, dan ruang ibadah. Pria dan wanita dipisahkan di bangsal berbeda, tetapi dilengkapi fasilitas yang sama dan staf medis sesuai jenis kelaminnya. Bangsal bagi penderita penyakit mental ini berada pada ruang yang diisolasi dengan jeruji besi sebagai pengaman.
Para dokter muslim menggunakan berbagai perawatan, seperti bentuk klasik psikoterapi, pijat, obat-obatan herbal, perhatian, perilaku kognitif, terapi Qur’an, terapi musik, puisi, terapi okupasi, terapi mandi, aromaterapi, menari, teater, olahraga, maupun dongeng. Setiap pasien dibantu dua orang pendamping, di antaranya pendongeng profesional untuk membantu pasien tertidur tenang. Tradisi penyembuhan gangguan mental yang sudah dibangun sejak masa Abbasiyah ini terus berlanjut hingga era Turki Utsmani.
Pada masa Ottoman, pusat penyembuhan didirikan di sekitar masjid, yang disebut ‘Takaya’— mirip pusat kesehatan mental modern. Demikianlah keberadaan para ilmuwan, dokter, dan klinik penyembuhan sebagaimana tercatat dalam sejarah, telah membuktikan Islam hadir sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Tugas selanjutnya adalah meneruskan tradisi baik dan mengembangkan dalam konteks dunia modern dengan segenap tantangannya.
Sumber : Majalah Hadila
hal. 46 | Juli 2024 | Edisi 205